Menjadi Manusia Seutuhnya

Sebagai cowok, bekerja di perusahaan yang kantornya ada di gedung tinggi adalah bentuk ideal yang terbentuk ketika tayangan film atau televisi memberikan gambaran seperti itu idealnya. Nih ya, kalau koreo ideal cowok seharusnya bekerja versi gue adalah berangkat pagi dengan menggunakan transportasi pribadi, sampai di parkiran gedung langsung semprot parfume dulu setelah itu berjalan ke arah lift sambil membawa bekal makan siang, dan tumblr berisi kopi. Lalu berdesakan masuk lift namun tetap teratur dan wangi, setelah itu keluar lift dan suasana hening karena sudah di lantai 20 lebih atau bahkan lantai 30an. Sesampainya di meja kerja langsung meletakan bekal di sebelah monitor PC, Tumblr di sebelah mouse (karena tangan yang aktif adalah yang selalu memegang mouse) dan menyalakan PC. Bisa dibilang sudah memasuki jam 9 ketika sudah tiba di meja kerja, lalu jam 11 lewat OB (Office Boy) menghampiri ke meja gue menanyakan mau dibelikan makan siang apa, lalu mau dibuatkan minum atau diambilkan air putih atau tidak, dan setelah itu istirahat makan siang. Lanjut jam 1 siang kembali bekerja dengan kondisi sedikit mengantuk, sampai akhirnya jam 3 sore bersiap untuk pulang. Ya, itu adalah koreo ideal bekerja di kantoran yang sering gue lihat di film-film. Namun, apakah kenyataannya demikian? 100% tidak sama sekali. Welcome to Disney Channel Dodo 😀

Emang gila ya pengaruh film dan televisi. Gue kira semua yang ada di layar adalah gambaran nyata kehidupan sehari-hari, dan akan 100% plek ketiplek sama. Ternyata brutal brow! Bayangin aja dari bangun tidur pagi aja udah beda banget dengan yang kita lihat di film. Seharusnya dengan sadar kita terbangun ketika alarm berbunyi. Namun kenyataannya, tanpa sadar kita menekan tombol snooze atau matikan dengan asumsi “bisa kali 5 menit lagi merem abis itu baru bangun” yang kenyataannya malah 50 menit kemudian baru bangun. Alhasil kita mandi dan siap-siap dengan mode nge-reog. Ajaibnya kita bisa sampai kantor tepat waktu, biasanya yang jadi korban driver ojek online “bang ngebut ya bang saya udah telat banget” dan abang driver ojek online terancam karirnya karena disodorkan pistol berbentuk potensi bintang satu kalau tidak memenuhi permintaan penumpang. Sungguh kondisi pagi yang sangat ideal.

Tidak hanya berhenti di situ, setelah sampai depan gedung terkadang kita mengucapkan “makasih bang” atau bahkan “njirlah telat gue mana ada meeting” yak! Otak kita sudah berada di pekerjaan padahal raga dan jiwa masih di parkiran. Lanyard dipasang ke leher sekenanya dengan ritme jalan setengah berlari, lalu masuk lift berdesakan dan kadang lupa menekan tombol lantai yang akhirnya kita kembali ke lantai dasar disambut dengan serbuan antrian lift selanjutnya. Akrobat selanjutnya ketika tiba di pintu kantor harus finger print dan ternyata si mesin mengeluarkan suara “coba lagi”. Absen rasa ikut undian ya kak. Dan masih banyak rasa buru-buru lainnya yang berawal dari diri kita karena telat bangun.

Kalau boleh jujur gue pernah ada di posisi itu. Sebagai cowok yang pernah siaran radio di gedung tinggi pastinya buru-buru adalah sebuah rutinitas. Apa lagi yang namanya jadwal siaran tidak boleh telat karena akan berpengaruh kepada jalannya acara yang gue bawain. Sebagai talent pasti kinerja akan sangat mudah terlihat. Dari hasil yang bagus atau jelek dan sering telat atau tidak, karena bisa terlihat hasilnya. Jadi terburu-buru, kurang bersabar ketika mengantri di mini market, bahkan ketika finger print yang sering ngga terbaca adalah makanan sehari-hari.

Jadi kalau lo merasa bekerja yang ideal di kantor itu seperti apa yang terlihat di film atau konten “a day in my life” kubur dalam-dalam mimpi mu. Semua akan buru-buru pada waktunya, mungkin itu alasan dari salah satu nama produk ojek online dengan menggunakan kata Go di depannya, supaya bisa menjadi solusi untuk yang buru-buru. Ya well, Gue ngga ngerti sih kenapa di Jakarta itu susah banget untuk santai, kecuali tanggal merah atau libur nasional. Pengecualian juga berlaku untuk lo yang rela berangkat pagi banget dan lokasi tempat tinggal lo bener-bener di bawah 30 menit jarak tempuhnya tanpa macet dan bisa jalan kaki. Berarti bisa kita tarik kesimpulan bawah tingkat kesabaran penduduk di sebuah kota itu berdasarkan seberapa chaosnya jalan raya yes?

Coba jawab jujur, lo pasti pernah ngebentak kasir Indomaret atau Family Mart yang ada di gedung tempat lo bekerja kan? Selain itu lo juga pernah berubah galak di kantor? Nah ternyata kejadian plot twist yang tidak sesuai seperti yang kerap muncul di film dan konten konten “A Day In My Life”.

“Gue pernah menemukan dan merasakan perusahaan yang memperlakukan karyawan Menjadi Manusia Seutuhnya”

Di samping rasa tergesa-gesa untuk menuju kator tempat gue siaran tapi ternyata ketika gue berhasil membuka pintu kantor dengan finger print, secara sadar gue mengucapkan salam dalam agama Islam dan menyapa siapapun yang ada di front desk. Gue ngga tau kenapa ketika sudah masuk ke area kantor ini pasti rasa buru-buru gue langsung menurun. Bisa dibilang langsung tenang, nyaman dan sudah siap banget untuk bekerja. Waktu pertama kali gue bergabung di perusahaan ini, gue merasa ada yang sangat beda dengan beberapa perusahaan tempat gue bekerja sebelumnya. Semua karyawan yang bekerja hapal nama, menyapa, senyum, akrab. Ruang merokok ngga usah ditanya lah ya segimana akrabnya. Jangan kan tau nama, tau sampai permasalahan pribadi juga sering terjadi karena saking akrab dan membaurnya. Gue ngga bisa bilang perusaahaan ini menggunakan sistem kekeluargaan juga, karena semua dikerjakan dengan profesional. Semua yang dikerjakan ada harganya. Untuk besar kecilnya relatif dan tidak bisa dipukul rata.

Belum hilang rasa kagum gue terhadap perusahaan radio yang sangat ramah ini, karena jujur aja untuk radio itu terkadang ada senioritas dan level diva untuk beberapa penyiar yang sudah menjadi artis hehehe… tapi di perusahaan terakhir gue siaran benar-benar sangat berbeda. Ada hal lain yang membuat gue “What? hah? kok bisa?”. Mungkin lo menebak hal yang bikin gue kaget itu adalah gaji? ternyata bukan. Yang bikin gue kaget itu adalah perlakuan atasan ke staff yang sangat memanusiakan manusia seutuhnya. Gue sangat kaget ketika gue bisa ngobrol langsung layaknya sama rekan kerja dengan Chief Executive Officer alias CEO. Selama gue siaran ngga pernah gue ketemu CEO, ngajar pun juga ngga pernah ngobrol bahas hal di luar kerjaan sama CEO. Bisa dibilang ini shock culture gue ketika menemukan budaya kerja seperti ini. CEO di perusahaan ini hapal semua nama orang-orang yang ada di teamnya. Dia tau apa yang gue bahas di on air which is good! CEO ini berarti memantau hasil kerja team nya. Dan masih banyak lagi kehangatan dan kenyamanan yang tercipta di perusahaan ini. Iya, semuanya karena hasil olahan CEO.

Sampai di suatu hari gue dibikin meleleh, merinding, terharu ketika cara berkomunikasi antar karyawan juga berbeda banget. Kita ngga boleh menggunakan nada marah untuk menegur, harus sopan ketika memberikan masukan, dan budaya kerja di perusahaan ini adalah “ngga perlu marah-marah tetapi bantu dengan memberikan solusi”. Jujur ya dari awal gue di radio gue kira senior yang marah-marah sampai lempar sendal ke kaca ruang siaran adalah hal yang wajar, ternyata tidak. Kalau mau mundur ke tahun di mana gue memulai karir menjadi penyiar radio, disabet koran ketika salah ngomong, pintu didobrak sambil marah, papan ebtanas (yang tau tau aja) yang isinya log siar dilempar ketika gue melakukan kesalahan itu adalah hal yang wajar terjadi di radio. Mental, menjaga kualitas, kesempurnaan, zero mistake adalah alasan kenapa senior dan atasan melakukan hal demikian. Jujur mental gue terbentuk, jadi bisa berhati-hati dalam siaran, bekerja, dan menjaga kualitas on air. Tetapi ternyata saat itu gue tidak diperlakuakan untuk Menjadi Manusia Seutuhnya. Ya seperti yang kita ketahui manusia seutuhnya adalah bukan robot. Salah, lalai, dan tidak sempurna adalah wujud asli atau sifat asli manusia. Be More Human.

Karena pernah menjadi bagian dari perusahaan yang sangat memanusiakan manusia seutuhnya, ternyata ini berpengaruh terhadap cara gue untuk memperlakukan orang lain yang gue temukan. Mengucapkan “minta tolong” dan “terima kasih” ternyata hal sederhana yang efeknya sangat besar terhadap lawan bicara. Gue inget banget setiap pamit pulang karena sudah selesai siaran mereka selalu mengucapkan “Makasih Ya Do, Hati-hati di jalan”. Bok! itu pertama kali gue mendengar langsung dengan telinga gue rasanya lumer banget di hati. Gue sepanjang jalan menuju parkiran merasa “gila! baik banget ngucapin terima kasih ke gue yang cuma siaran dan bilang hati-hati di jalan”. Asli gue ngga pernah diperlakukan seperti itu. Sederhana tapi ambyar.

Satu lagi yang membuat gue ambyar berantakan adalah ketika mendapatkan informasi bahwa ada pemilihan penyebutan untuk jabatan di sebuah divisi yang selalu dipandang sebelah mata namun CEO di perusahaan ini sangat mengangkat derajat  jabatan ini agar setara dengan divisi yang lainnya. Jadi, setiap kantor pasti punya Office Boy atau OB. Nah, CEO ini melarang kita semua yang bekerja di perusahaan ini untuk memanggil mereka ini dengan OB, sebutan Office Boy diganti menjadi Office Support, alasannya supaya setara. Coba! berantakan ngga perasaan lo? Efeknya apa? Mereka selalu bekerja dengan sepenuh hati, keliling ke semua studio siaran menawarkan mau dibelikan makan siang apa untuk mereka yang siaran siang. Gila, hangatnya tuh sampai gue bisa ceritain di blog ini. Jadi gue bisa menarik kesimpulan bahwa ternyata rejeki terbesar dalam bekerja itu bukan hanya gaji doang, environment sekita juga sangat berpengaruh untuk menghasilkan energi yang besar supaya team ini solid. Ternyata memang sangat penting untuk menjadikan manusia sebagai manusia seutuhnya.

2 komentar untuk “Menjadi Manusia Seutuhnya”

  1. Ma sya Allah begitu baca postingan langsung nyes di hati. Dan pengen banget bisa punya lingkungan kerja seperti itu. Memanusiakan manusia.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Open chat
Hello,

If you need further assistance, our customer service team is ready to help you.