Gue masih ingat betul waktu itu jam setengah delapan malam, gue baru saja sampai di lantai yang ketinggiannya nyaris menyentuh puncak gedung di salah satu gedung perkantoran di Jakarta. Susah banget untuk bisa menembus hujan yang deras karena di tahun 2012 belum ada layanan taksi online dengan harga yang bersahabat. Intinya saat itu gue belum terbiasa menggunakan taksi online. Jadi mau ngga mau gue harus rebutan taksi konvesional dengan pengunjung mall yang lain. Jam pulang kerja, hujan, di Jakarta. Wawlohualam bisa sampai tepat waktu untuk bisa siaran kalau kondisi jalanan seperti ini. Walaupun akhirnya gue dapet taksi dan sampai di studio satu jam sebelum show gue di mulai. Gue saat itu siaran dari jam 8 sampai jam 12 malam. Ngga tau kenapa gue selalu sampai di studio siaran paling mepet 30 menit sebelum siaran, dan itu ternyata sudah menjadi kebiasaan gue sampai saat ini untuk bekerja di mana pun. Jadi jangan kaget ya kalau gue satu jam lebih awal sudah hadir di lokasi hehehehehe…
Akhirnya mendekati jam 8 malam penyiar sore yang siaran sebelum acara gue sudah closing mic alias pamitan, barulah gue mengambil alih meja siaran yang isinya seperangkat alat siaran seperti mixer untuk mengontrol flow siaran, lalu 2 monitor PC dan pesawat telepon serta beberapa tombol yang cukup sakral untuk disentuh a.k.a hanya teknisi yang boleh mengutak atik. Sambil membuka Log Siar yang isinya adalah spot iklan dan lagu-lagu yang harus diputar, tiba-tiba gue menemukan sebuah lagu yang letaknya di awal dan menurut gue lagu ini sayang banget kalau hanya sekedar diputar tanpa ada pengantar dari gue yang siaran. Maka dari itu gue langsung membuat script pendek untuk bisa membuka siaran gue lebih dalam dan kena di telinga pendengar. Kalau ngga salah atau secara kasar script opening gue yang gue buat secara spontan seperti ini:
“Senin dan hujan di Jakarta emang udah paling berat, tetapi selama bernapas itu gratis jangan lupa untuk sering-sering ambil napas yang dalam ya, yang berat pasti bisa jadi ringan kalau bebannya dibagi ke orang lain. Cerita ya malam ini bareng gue Dodo Harahap yang siap temenin kamu sampai jam 12 malam dan dibuka oleh lagu dari Toni Braxton with Breathe Again”
Ketika lagu Breathe Again sedang diputar tiba-tiba gue melihat ke Tweetdeck yang ada di monitor, ternyata ada salah satu pendengar yang mention gue lewat twitter yang bisa dipastikan dia sedang mendengarkan gue siaran. Isi tweet-nya adalah pujian dari lagu yang gue putar tetapi dengan kisah yang cukup membuat gue kaget. Kira-kira isinya tweet-nya seperti ini:
“Thank you banget udah puterin lagu ini. thanks juga udah ngingetin gue untuk bernapas padahal beberapa menit lagi mungkin gue bakalan kehilangan napas kalo gue nekat nabrakin mobil ini di tol.”
Mungkin lo bertanya “terus reaksi lo gimana Do?” ya gue cuma bisa bengong terdiam dan ngga nyangka aja kalau kalimat opening siaran gue barusan memberikan impact yang besar banget untuk pendengar yang ternyata merasa terwakilkan perasaannya. Tetapi memang siaran radio untuk acara malam (8-12 malam) sangat dekat dengan pendengar, konsepnya adalah sebagai teman pendengar untuk mendengarkan cerita keseharian mereka. Gue aja ngga pernah tau siapa yang mendengarkan gue dan mereka lagi di mana. Malam itu bisa dipastikan media radio baru saja menyelamatkan satu nyawa seseorang yang ingin mengakhiri hidupnya. Perasaan gue campur aduk tetapi gue harus melanjutkan pekerjaan gue ini yang baru berakhir jam 12 malam.
Satu dari sekian banyak pengalaman dari sebuah profesi yang bernama “penyiar radio”. Sebuah media yang sangat lama sekali ada di bumi ini namun sangat dekat dengan pendengarnya. Pada saat gue menulis blog ini, tepat di hari radio nasional, walaupun gue sudah memutuskan untuk keluar dari industri media konvensional ini tetapi rasa, nyesss, senyum kecil itu masih ada ketika beberapa stasiun radio membuat konsep acara untuk merayakan Hari Radio Nasional. Lini masa Instagram gue isinya postingan para penyiar dan pekerja radio yang pernah dan masih ada di industri radio itu sendiri. Memang sebagai ex anak radio harus bangga karena ini adalah sebuah proses bertumbuh yang tidak dimiliki oleh industri lain. Oke gue akan ceritakan betapa hebatnya para jebolan anak radio: Tahan banting, Multi Tasking, Bangun Pagi Sampai Bangun Candi Juga Bisa. Gimana para talent acquisition? apakah sosok tersebut yang kalian butuhkan untuk membangun sebuah candi? Hire lah para anak radio hahahaha….
Harapan gue terhadap media radio ke depannya sih ngga muluk-muluk, setidaknya radio bisa diterima oleh generasi Z dan A. Kita harus sadar bahwa mereka adalah market besar selanjutnya, tongkat estafet jangan lupa diserahkan ke mereka, dengan konsep yang harus fit in dengan mereka (asik ya ngomong gue udah kayak yang punya radio bahahahak). Tapi memang tantangan terberat saat ini di setiap bisnis adalah mencari market yang sesuai dan merangkul market yang potensial. Apakah radio harus berubah? sudah barang tentu. Dari segi bisnis dan tampilan juga sudah harus berubah. Karena sekarang ini sudah tidak ada yang memproduksi radio analog, dan smartphone juga sudah tidak ada yang menyediakan fitur radio di dalamnya. Apakah radio masih bisa didengar? masih, namun harus dipertimbangkan untuk generasi alpha yang akan hidup berdampingan dengan aplikasi. Banyak cara untuk bertahan, namun optimis saja tidak cukup tanpa dilengkapi dengan realistis.
Gue berharap banget para pekerja radio isinya adalah Gen Z dan Millenial, bukan karena untuk menggeser tetapi kita sangat merasakan bahwa trend saat ini dinamis dan berubah cepat sekali. Siapa yang bisa cepat dan akurat maka dia yang akan bermanfaat. Banyak pengaruh besar yang positif dari sebuah media yang bernama radio. Banyak kejutan yang diberikan ketika mendengarkan radio. Berharap banget kualitas radio minimal bertahan kalau saja memang sulit untuk berkembang. Sekali lagi selamat hari radio nasional, sepertinya slogan “selalu jaya di udara” sudah tidak relevan. Bagaimana kalau slogannya gue ganti menjadi:
“Selamat Hari Radio Nasional, Selalu dinamis dan realistis”